Jakarta, kota megapolitan dengan lebih dari 10 juta jiwa penduduk, dikenal sebagai pusat ekonomi, politik, dan budaya Indonesia. Namun, di balik gemerlapnya gedung pencakar langit dan hiruk-pikuk aktivitasnya, Jakarta menyimpan persoalan lingkungan yang kronis—polusi udara.
Pada Senin, 19 Mei 2025, data kualitas udara di Jakarta menunjukkan angka yang menempatkan ibu kota dalam kategori “sedang”. Meski bukan level berbahaya, kondisi ini tetap perlu diwaspadai, terutama bagi kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, dan penderita penyakit pernapasan.
Apa Itu Kualitas Udara “Sedang”?
Kualitas udara umumnya diukur menggunakan indeks AQI (Air Quality Index), yang dibagi ke dalam beberapa kategori:
-
0–50 (Baik)
Udara bersih dan tidak berisiko bagi kesehatan. -
51–100 (Sedang)
Kualitas udara dapat diterima, namun ada potensi risiko ringan bagi individu sensitif. -
101–150 (Tidak Sehat untuk Kelompok Sensitif)
Kelompok rentan dapat mengalami gejala ringan. -
151–200 (Tidak Sehat)
Semua kelompok mulai terpengaruh secara signifikan. -
>200 (Sangat Tidak Sehat – Berbahaya)
Risiko kesehatan serius meningkat untuk semua populasi.
Pada Senin pagi, AQI Jakarta berkisar antara 75–90, tergantung wilayah. Artinya, meski tidak berbahaya, indikasi pencemaran tetap ada—utamanya dari partikel halus (PM2.5) yang dapat menembus saluran pernapasan hingga ke paru-paru.
Sumber Polusi Udara di Jakarta
Ada beberapa faktor utama yang menyebabkan penurunan kualitas udara di ibu kota:
-
Emisi Kendaraan Bermotor
Sekitar 70% polusi udara Jakarta berasal dari kendaraan pribadi dan angkutan umum. -
Konstruksi dan Debu
Aktivitas pembangunan gedung dan infrastruktur menyumbang partikel debu halus. -
Industri dan PLTU
Pabrik dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap di sekitar Jabodetabek juga menyumbang emisi gas rumah kaca. -
Pembakaran Sampah Terbuka
Meski dilarang, praktik ini masih kerap ditemukan di pinggiran kota.
Dampak Kesehatan dan Sosial
Meskipun dalam kategori “sedang”, kualitas udara seperti ini tetap bisa menimbulkan efek kesehatan, seperti:
-
Iritasi mata dan tenggorokan
-
Batuk ringan
-
Sesak napas bagi penderita asma
-
Penurunan fungsi paru-paru jangka panjang
Bagi masyarakat yang terus terpapar, terutama anak-anak dan lansia, polusi udara dapat memperparah penyakit kronis seperti bronkitis dan penyakit jantung.
Apa yang Bisa Dilakukan Masyarakat?
Dalam kondisi seperti ini, masyarakat tetap bisa beraktivitas normal, namun disarankan untuk:
-
Mengurangi aktivitas luar ruang, terutama saat pagi hari ketika polutan lebih tinggi.
-
Menggunakan masker N95 saat berkegiatan di luar ruangan.
-
Menanam tanaman penyerap polusi di pekarangan rumah (seperti lidah mertua, sirih gading).
-
Memastikan ventilasi rumah cukup baik.
Langkah Pemerintah dan Harapan ke Depan
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Lingkungan Hidup telah mengambil beberapa langkah:
-
Mengaktifkan kembali uji emisi kendaraan.
-
Melanjutkan pembangunan dan promosi transportasi publik ramah lingkungan seperti LRT, MRT, dan TransJakarta.
-
Memberlakukan aturan ganjil genap dan pembatasan kendaraan pribadi.
-
Menambah ruang terbuka hijau (RTH) sebagai paru-paru kota.
Namun, efektivitas kebijakan ini masih menjadi tantangan karena:
-
Kepatuhan masyarakat masih rendah.
-
Pengawasan belum optimal.
-
Koordinasi antarwilayah (Jakarta–Bekasi–Tangerang–Depok) belum terintegrasi.
Kesimpulan: Langkah Kecil, Dampak Besar
Kualitas udara Jakarta yang masuk kategori sedang adalah peringatan dini, bukan ajakan panik. Ini saatnya semua pihak—masyarakat, pemerintah, dan sektor industri—bekerja sama menjaga udara tetap bersih dan sehat.
Langit biru bukan kemewahan, melainkan hak dasar setiap manusia. Mari mulai dari diri sendiri—dengan lebih memilih transportasi umum, menanam pohon, dan menghindari pembakaran sampah.
Udara yang kita hirup hari ini akan menentukan kesehatan kita esok hari.