Gaza, wilayah padat penduduk di Timur Tengah, kembali menjadi saksi penderitaan manusia ketika Israel melancarkan serangan udara besar-besaran yang menewaskan lebih dari 400 orang, mayoritas adalah anak-anak dan perempuan. Serangan ini menandai berakhirnya gencatan senjata dua bulan antara Israel dan Hamas, serta membuka babak baru dalam konflik panjang yang tak kunjung usai.
Gencatan Senjata yang Rapuh
Selama dua bulan terakhir, wilayah Gaza sempat merasakan jeda kekerasan setelah adanya kesepakatan gencatan senjata yang dimediasi oleh pihak ketiga, termasuk Mesir dan PBB. Namun, ketegangan tetap tinggi, terutama di sekitar perbatasan, terowongan bawah tanah, dan titik-titik strategis di Gaza utara.
Menurut laporan militer Israel, serangan udara diluncurkan sebagai tanggapan atas serangan roket dari Hamas yang disebut menghantam wilayah Israel selatan. Namun, organisasi HAM dan pengamat internasional menilai respon Israel jauh lebih destruktif dan tidak proporsional.
Skala Serangan yang Menghancurkan
Dalam waktu kurang dari 48 jam, lebih dari 100 target di Gaza dibombardir. Wilayah yang terkena dampak paling parah termasuk kamp pengungsi Jabaliya, Khan Younis, dan Gaza City. Rumah-rumah rata dengan tanah, rumah sakit kewalahan, dan sekolah-sekolah rusak berat. Laporan awal menyebutkan lebih dari 400 korban jiwa, di antaranya hampir separuh adalah anak-anak dan perempuan.
Salah satu serangan paling tragis terjadi di sebuah sekolah yang dikelola oleh UNRWA (Badan PBB untuk Pengungsi Palestina), yang saat itu digunakan sebagai tempat berlindung oleh warga sipil. Serangan ini memicu gelombang kecaman dari masyarakat internasional.
Korban Sipil dan Krisis Kemanusiaan
Gaza saat ini tengah menghadapi krisis kemanusiaan yang memburuk. Rumah sakit kehabisan suplai medis, listrik hanya menyala beberapa jam sehari, dan akses bantuan internasional sangat terbatas akibat blokade yang diberlakukan Israel.
Lembaga kemanusiaan seperti Amnesty International dan Human Rights Watch menyatakan bahwa tindakan militer Israel berpotensi masuk kategori kejahatan perang, terutama karena penggunaan kekuatan yang menargetkan area sipil padat.
Reaksi Dunia Internasional
Serangan ini memicu gelombang protes global. Di berbagai ibu kota dunia—London, Paris, Jakarta, hingga New York—ratusan ribu orang turun ke jalan menuntut dihentikannya kekerasan dan pemulihan hak-hak warga Palestina.
Beberapa negara seperti Turki, Afrika Selatan, dan Malaysia mengecam keras tindakan Israel dan menyerukan penyelidikan internasional. Sementara itu, Amerika Serikat dan Uni Eropa menyerukan “pengendalian diri” dari kedua pihak namun belum mengambil tindakan tegas.
Konflik yang Tak Pernah Selesai
Konflik Israel–Palestina telah berlangsung lebih dari 75 tahun, dengan akar permasalahan yang sangat kompleks: sengketa tanah, hak kembali pengungsi, status Yerusalem, serta blokade berkepanjangan di Gaza. Setiap kali kekerasan pecah, warga sipil menjadi korban utama, terutama anak-anak.
Serangan terbaru ini menunjukkan betapa rapuhnya perdamaian dan seberapa cepat kekerasan bisa kembali memusnahkan harapan.
Harapan yang Kian Redup
Dengan meningkatnya ketegangan dan belum adanya solusi politik yang konkret, banyak pihak khawatir bahwa eskalasi besar-besaran akan kembali terjadi. Ketiadaan tekanan internasional yang efektif terhadap kedua pihak, khususnya Israel sebagai kekuatan militer dominan, membuat prospek perdamaian semakin suram.
Namun, di tengah kehancuran, masih terdengar suara warga Gaza: mereka hanya ingin hidup damai, membesarkan anak-anak mereka tanpa rasa takut. Dan suara itu, lebih dari apapun, adalah seruan yang layak untuk kita dengarkan.